Kau Bunuh Petang

Kau datang lagi
bertanya tentang kematian yang kau tanggalkan
di rumah, seorang bocah yang merindukan hijau rumputan
Aku pun bertanya begitu indahkah kubur bagi dia yang hijau
jika aku datang pada para penunjuk jalan, penyimpan kunci
pintu  yang sengaja tak mengundangmu kelak
kecuali menggenggam erat jari-jari mereka
yang berendam air hangat
Aku pun bersaksi
matamu yang memijar secerah bintang-bintang
melahirkan pelangi di sela gerimis, menggenangkan bocah
terbuncah haus tiupan salam selamat jalan, di ujung gang
aku masih ular yang lindap di antara remang ganggang dan rawa
Kau terus melebur riuh telinga dengan segala mantra tentang
tangis seribu hari, seorang perempuan di antara serpihan
waktu yang sisa dan sunyi

Dan gerimis itu meruap gasang
lidahku, bercabang dengan asam dan anggur. Aku laknat
yang ingin melupakan mimpi mencumbu matahari, kau bakar
aku hidup-hidup. Dengan kabar dari langit suci terkutuk, kau bunuh
rembang petangku – sekerat kesenangan dari kemalangan sempurna
Bila kelak kubawakan dunia seisinya
di muka para rahib, maka tak ada lagi hasrat kematian
dan kubur di situ, sebab aku telah terpanggang dan tak ada
sisa dalam rumah ini. Kau telah mencurinya habis, tiap butir
getah dan keping-keping gairah yang sempat tersimpan dalam
buli-buliku. Lewat lolongan panjang mantra-mantra penjinak
ular yang kau semburkan aku hilang, menguap dalam bayangmu

Keindahan yang membius sembilan matahari
Di sana para rahib yang tak peduli, tak mendengar langkahmu
mengendap, menjumput seutas nyawa yang meregang tanya
tentang keindahan kubur yang kau cari dan tak mengerti

Lirik Lirih
 
Lirik lirik baris
Bait bait nokta
Nada nada syair
Melagu sebuah nyanyi
Atas suatu pengakuan
Pada malam yang merindu
Sebuah saksi jejaring saraf mencatat
Atas suatu pengaduan
Dan bila ia melukis bulan,
Atas sebuah pengampunan
Di atas segala lirik bisu,
Kunanti angin memasung risalah hati yang terpenjara:
Atas semua penantian kosong

     
               menandai kenangan
 
Aku susuri kembali kenangan, seperti sebuah malam yang diam.
Lalu, kudapati tubuhmu yang telah menjejak, bermain dengan gaduh, menepikan murungku.
Aku rindu kecupan itu, merapatkan usia yang makin tua,
sedang kita tak kunjung dewasa
Betapa lelah. Tetapi,
riwayat ini belum benar-benar tamat,
ketika kau kutuk aku kembali jadi eros yang begitu lanang,
menyimpan cinta leluhur
Seperti sebuah malam,
Kita akan beranjak dari permainan
Keluar dari gelanggang dan
Menandai ribuan sunyi kembali

Maka, hiruplah kenangan, di antara sandaran kapal, di sebuah pelabuhan
Merendam jejak-jejak yang tak kelihatan
Bahkan, ketika kapal beranjak, kita seakan kehilangan arah
Untuk sekadar berbenah

  
                KETIKA LAUTMU TAK DIPENUHI GELOMBANG
 
laut itu bukan punyamu, kau tak lagi
berhak menandai apa-apa, juga menguliti asinnya
sebab, kita hidup di negeri yang penuh basa-basi
di mana energi telah lenyap di dasar bumi

lautmu, hanya sayup. kapal nelayan yang
musnah diterkam badai, selalu bergulingan dan tenggelam di dasar
hingga jauh, tak lagi bergelombang

demikianlah. kau sepenuhnya mengerti bila laut itu
cuma hadir dalam sebuah sajak
yang makin samara dan tawar
seperti warna biru yang kau sodorkan padaku
begitu kelabu!
 
 
              SELAT RINDU

Kini, aku terapung di selat rindu. hanya bayangan kamu
dan sisa kenangan yang tampak,
angin yang dingin tertahan di kening
Berbaring di setiap kuyup jejak

Kemana perjalanan akan sampai?
Hingga berulang kali
Aku lalai menandai kembali
Tubuhmu yang makin biru

Mungkin, rindu ini akan bengkak
Menampung setiap tahun yang terus mengapung,
Setiap kubaca retinamu yang gelisah

Jam berapa ini?
Mengapa kau hanya terdiam?
Duduk batu, seperti ingin melengkapi potret gerimis tipis yang
Jatuh di tengah laut
Selat yang terus terbelah, di antara dua pulau
Menyimpan pantun demi pantun

Seutas jarak, tak lagi terkuak

Tetapi,
Aku telah terapung
Rindu ini makin kembung, tanpa senja, derai tawa,
Juga tetes air mata yang kunantikan
Setiap kali
memulai percakapan baru, denganmu


          Aku Tak Tahu

Aku tak tahu kapan ombak berhenti berdebur, gunung api berhenti mengepul, angin berhenti bertiup; entah

lalu tibatiba aku ingin menjadi ombak, gunung api, angin itu padahal aku lebih sakti dari itu, aku lebih sakti

kukeringkan lautan dengan cemeti lelakiku, ku jugrugan gunung api dengan cemeti lelakiku, kuhentikan angin dengan cemeti lelakiku, tapi menara hatimu, entah

aku tak tahu secuilpun tentang dirimu

aku hanya tahu bahwa aku lebih suka melihatmu tersenyum dan berkatakata lalu melentinglentingkan sajak tanpa patah

 
5 September 2003, 5:37 PM

Name
Email address:
Comment: