Perahu Mungil Mengarungi Sunyi

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat perahu mungil dengan dua pendayung bertopi unik itu? Aku hendak membuka diriku, bahwa perasaanku pun mengapung seperti itu dan didayung oleh dua manusia.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku kehilangan dirimu setelah dihanyutkan arus selat senyap? Aku hendak membuka diriku, bahwa perasaanku telah turut terhanyut oleh renyah tawamu dan kesepianku.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku mencarimu tiada jua sua hingga kupenggal rinduku? Aku hendak membuka diriku, bahwa perasaanku meluap-luap penuh rindu tak tertahankan.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku kamu ajak bersua di bawah bayang rembulan? Aku hendak membuka diriku, bahwa perasaanku kuatir jatuh cinta pada dirimu.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku yang kamu bilang ‘apakah perasaan harus dielakkan bahkan dengan mencipta jarak hingga membunuh keakraban’? Aku malah menutup diriku kembali.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku yang kamu gugat ‘mestikah bungkammu kubaca sebagai lambaian selamat tinggal, dan kurasa memang begitu’? Aku malah membiarkan pintuku membeku.

Perahu mungil masih mengapung di atap komputerku. Apakah kamu ingat diriku yang kamu desak ‘umpama perahu tak sampai pelabuhan, kata-kataku ini adalah sebuah bunga terakhir’? Aku terpaku pada dinding perahu mungil di atap komputerku.

  Tik Tak Tik Tak Tik…
 
 
Ada yg bertanya padaku, kenapa aku selalu bicara tentangmu pada puisiku. Kujawab karena aku sedang ada bersamamu dan barangkali sekarang hidup padamu. Disaat tak ada orang di tanah yang sama yang dapat kuajak bicara pada detik hatiku tumpah meruah, ada seseorang padamu, didadamu menjenguk ia keluar jendelanya dan menyapa : Hai! Katanya. Kita hidup di dunia khayal! Yap! Barangkali ia benar.

Apa mau dikata?

Kasihan kau!, kata seseorang kata ayah kata ibu kata sanak saudaraku kata orang –orang lalu lalang yang bahkan tak berhenti dan memandang mataku dan bertanya: Ada apa disana? Ada sepi, kataku. Ada sepi sesepi tanah yang kuinjak sendirian dibumi. Ada orang-orang yang menertawakan kesepianku juga kesepiannya sendiri. Ya, kasihan kita! Barangkali itu benar.

Apa mau dikata. Bila semu masih menjadi hukum disini. Mutlak. Harus. Segalanya serba setengah. Setengah kenal, setengah kawan, setengah kekasih…Tuhan!

Aku ingin bermain-main saja disini. Menemukan sesuatu kemudian membawanya pulang ke tanahku. Tanahku! Bumi yang sungguh dipijak dan bunga-bunga bermekaran di atasnya. Orang-orang berkasih-kasihan dan beranak pinak. Sungguh ada sesuatu yang bisa kau genggam kau peluk dan kau baui padanya. Hidup. Aku ingin membawanya keluar darimu dan membiarkannya tumbuh disini. Nyata diantara tanah air dan api.

O, ya. Kemarin telah kulemparkan cinta dan amarah dan kemudian yang kudapatkan hanyalah lelah sebab tanah elektronika tak pernah menjanjikan apa-apa bagi penghuninya. Ini adalah cerita kesekian ribu dari kesekian ribu pencatat sebelumnya. Sungguh kenangan akan duka dan ceria bisa kau cetakkan pada kertas lalu kau tempelkan pada langit-langit rumahmu. Baca. Dan renungkanlah sendiri. Olehmu.

             Aku adalah Taparaga

Aku adalah Taparaga; pemuda yang kini semedi dalam kejar-kejaran pijar-pijar fajar. Mataku terpejam. Pikiranku bersayap emas, melayang-layang, melanglang buana mayapada. Kuteropong sisi-sisi hari. Kuteropong bau-bau bunga. Kuteropong serpihan-serpihan daging bacin. Kuteropong seminar para belatung lapar.

Aku adalah Taparaga; pemuda yang menghentikan penjelajahan sepi di saat mendung bergulung-gulung di tingkap-tingkap langit. Badai yang bergolak galak mengharuskan pikiranku mendarat pada daratan yang menampung kefanaan raga raguku. Lantas langit semarak menyiram apa saja dengan bening-bening basah menggigilkan.

Aku adalah Taparaga; pemuda yang menghimpun rintik hujan di kaca jendela sebuah pesawat tua dan membentuknya menjadi wajah seorang gadis berambut panjang bergelombang riang. Wajah yang terpoles pada kanvas kusam tampak cantik dalam gemerlap rasa rinduku.

Aku adalah Taparaga; pemuda yang melukis wajah Langen Kirana pada kaca buram itu. Berbuih-buih alur cetakan jari telunjuk membuat mata lukisan berbinar. Gemetar jariku kala meliukkan lengkung bibir gadis pujaanku. Terkadang aku menyelinginya dengan lafal mantera berirama cinta, mengeja nama Langen Kirana… Langen Kirana.

Aku adalah Taparaga; pemuda yang melagukan syair sunyi di tepian nurani. Seperti bising, namun mengapa keleluasaan yang lengang berkuasa dalam benakku? Seperti padat, namun mengapa kekosongan nisbi menyeruak dalam volume ingatanku? Seperti kamu, namun mengapa dia yang beraloerotisme dengan ruh-ku?

Aku adalah Taparaga; pemuda yang mengenang tembang-tembang girang melepas kijang perawan pada padang rumput hijau merata raya. Dalam bayangan gemulai tarian Langen Kirana, aku menziarahi puing-puing hati yang tercampak kemarau. Aku mengharapkan Langen Kirana menari terus, terus menari, hiburkan letih para tualang.

Name
Email address:
Comment:
  

22 Agustus 2003, 4:12 Am