seputih bulan, wajahmu yang menyembul dari kerumunan semut-semut
yang berlibur ke pulau asam. kau lemparkan sekeping senyum dan aku pun berserak. genggamanmu makin erat, menyelubungi rintikan
resah di telapak tanganku yang kulihat makin membiru. entah kemana kita. jalanan ini terlalu padat, ruas-ruasnya menyempit
ketika kita tumbuh dewasa di atasnya. kau merangkulku melintasi malam lelah penuh renjana, lalu kau dudukkan aku yang semakin
membisu di tengah tingkah jingkatmu mengendap-endap mendekati sebongkah galauku yang tak luruh.
peti-petiku penuh
tanda tanya. kususun satu per satu, walau tak pernah kudapatkan satu jawab. aku terperangkap dalam gelagap waktu yang memisahkan
masa lalu dan masa depan. rintihku tak lagi terdengar, bahkan olehmu. gemuruh gelisah sudah terlalu lama terkurung redam liang-liang
sempit ingatan. bercampur, teraduk, menyisakan lelucon-lelucon konyol di buku-buku tahunan. kau telah coretkan sejarah di
bilik peti-petiku. setiap usapku berisi rentetan panjang peristiwa yang tak akan pernah kuceritakan padamu walau dalam bisik.
aku pun tak berharap kau tahu. semua ini semacam rahasia pertapa di sepanjang jejak tapak di atas pasir yang lekas menghilang
ketika ombak membawanya kembali ke dasar palung-palung gelap tujuh samudera.
aku mencaci waktu, . aku mencaci waktu
yang membawamu kepadaku. aku menyumpahi getir pertemuan yang hanya membawa jutaan sesal pada detik-detik yang terlewat. dan
ketika kau di sini, kecupanmu di tangkup tanganku adalah rajah darah di jubahku yang terkoyak. lelehan kata-katamu hanya melengkapi
kronologi luka. mulutku celangap menampung kucur tangis bintang, entah untuk siapa. mungkin untuk waktu, mungkin untuk setitik
nila di sebelanga susu. kita terlalu lama membiarkan malam terdiam di pangkuan kita, menguliti dosa-dosanya. sementara belulang
merapuh, penat menopang bongkahan batu-batu vulkanik yang terus menerus tertumpah dari lahar hasrat kita.
seperti
musim yang muram, saat kuantarkan kau kembali. di jendelamu, hujan mengetukkan isyarat, memaku langkahku yang terhenti di
depan gerbangmu. di balik luruh rintik, wajahmu adalah sketsa yang tak habis terpahami, walau tiap goresnya selalu kuhafali
saat kita berpeluk di bawah jarum jam tersembunyi. mungkin aku yang terlalu tolol. aku hanya bisa menggigil di sini sambil
mencengkram realita di secarik kertas yang kau berikan. aku hanya bisa memasung benih yang terlanjur tertebar di ladang-ladang
lapar. aku hanya bisa membekap jerit saat tunas yang mulai tumbuh tertebas lidahku, membiarkannya terkapar di pelataran terinjak
kakiku sendiri.
aku hanya bisa berjanji: esok pagi akan berlalu seperti biasa, , tanpamu, tanpa mimpi. aku akan berjalan
lagi, sendiri di bawah kesang matahari.
|