Setelah peristiwa-peristiwa luput dari makna, dan dedaunan terus saja
menguning tanpa sebait puisi. Meski tanpa teori. Begitulah, kitapun menziarahi buku-buku, pada sebuah sabtu yang kelabu.
Pertemuan
barangkali tak seputih kelopak melati. Sebab selalu ada yang diam-diam pergi, tanpa getar hati. Kita mengangguk sepakat,
membayangkan irisan-irisan kenyataan, meski cuma lamat, di antara tumpukan dan baris buku; sementara kau sibuk mengaji
halaman pertama bab ke satu.
Tak ada yang baru. Hanya pertemuan yang kadang memang kita agendakan.? Bisikmu, ?Selebihnya, kenangan.?
Tapi
adakah spasi-spasi kering airmata akan basah tanpa pengalaman yang darah? Ataukah kita cuma sembunyi sejatinya, di
balik paragraf-paragraf yang kita gantung dalam dada; hingga tak pernah juga kita mengerti cerlang matahari pagi.
|